
Mengapa Kendaraan Harian Itu Penting
Di kota-kota besar hingga pelosok desa, kendaraan harian bukan lagi barang mewah. Ia sudah jadi kebutuhan. Bahkan bisa dibilang, hidup di zaman sekarang tanpa kendaraan pribadi itu seperti berlari dalam lomba maraton dengan satu kaki diikat—berat, lambat, dan sering bikin frustrasi.
Bagi banyak orang, termasuk saya, kendaraan harian adalah jembatan antara harapan dan kenyataan. Ia menghubungkan kita dengan tempat kerja, keluarga, kebutuhan pokok, dan kadang… dengan waktu istirahat yang sangat terbatas.
Bisa dibayangkan jika harus mengandalkan transportasi umum setiap hari di kota yang jadwalnya suka PHP atau rutenya tidak menjangkau daerah tempat tinggal. Apalagi jika kamu harus berpacu dengan waktu: masuk kantor jam 08.00, anak harus diantar sekolah jam 06.30, belum lagi tugas-tugas tak terduga yang bisa muncul sewaktu-waktu.
Kendaraan harian juga bukan sekadar alat berpindah tempat. Ia membawa rasa aman, kendali, bahkan privasi. Naik motor atau mobil pribadi memberi ruang untuk berpikir, mendengarkan musik favorit, atau sekadar menikmati diam—hal sederhana yang tak selalu bisa kita nikmati di kendaraan umum yang penuh sesak.
Tapi tentu setiap orang punya preferensi. Ada yang memilih mobil karena kebutuhan membawa keluarga, kenyamanan di tengah hujan dan panas, atau karena mobil jadi ruang kerja berjalan bagi sebagian profesi. Ada juga yang memilih motor karena gesit, irit, bisa selip di kemacetan, dan cocok buat hidup yang selalu on the move.
Dan yang menarik, setiap pilihan itu punya ceritanya masing-masing.
Motor: Teman Hidup yang Tak Pernah Protes
Tahun 2011 adalah awal dari babak baru dalam hidup saya. Baru saja diangkat sebagai PNS dan ditempatkan di Sukabumi, saya memutuskan untuk membeli kendaraan pribadi pertama saya—Honda Blade Repsol, motor manual yang pada saat itu terasa begitu keren, gesit, dan penuh semangat, persis seperti saya yang baru mulai menapaki dunia kerja.
Motor itu menjadi saksi segala hal: dari groginya saya saat apel pagi pertama, sampai pelan-pelan mengenal ritme kerja, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan membangun hidup mandiri jauh dari keluarga. Tak ada pilihan transportasi lain yang bisa saya andalkan di kota kecil itu selain motor. Maka kami pun bertumbuh bersama—saya dan Blade Repsol.
Lalu, tahun 2018, saya pindah tugas ke Tangerang. Kota yang lebih besar, ritme yang lebih cepat. Di sana saya berganti motor: Yamaha Soul GT 125 jadi kendaraan harian saya. Saya beralih ke motor matic, bukan karena ingin lebih gaya, tapi karena memang tuntutan aktivitas dan efisiensi. Rute semakin padat, waktu semakin sempit—dan Soul GT jadi andalan saya menembus jalanan dengan gesit.
Meski begitu, kedua motor itu bukan kendaraan mudik. Saya lebih sering pulang kampung dengan transportasi umum atau mobil bersama keluarga. Tapi justru karena mereka bukan kendaraan pamer saat momen besar seperti Lebaran, motor-motor itu terasa semakin tulus. Mereka setia untuk keseharian, bukan hanya untuk hari istimewa.
Tahun 2023, saya kembali berganti motor. Kali ini Honda Beat matic, motor yang masih saya gunakan hingga sekarang. Ringan, irit, dan bisa diandalkan. Bukan yang tercepat, bukan yang paling gagah, tapi cukup untuk membawa saya menyelesaikan tugas negara, menjemput anak, atau sekadar mampir ke warung beli roti.
Setiap motor punya zamannya, dan setiap zaman menyimpan cerita. Dari manual ke matic, dari Sukabumi ke Tangerang, dari Blade ke Beat—semuanya menyimpan potongan hidup yang tak tergantikan. Mereka bukan cuma alat transportasi, tapi teman diam yang setia bekerja tanpa banyak bicara.
Mereka tak pernah mengeluh, tak pernah menuntut. Selama diberi bensin, oli, dan servis secukupnya, mereka terus berjalan. Dan saya… sungguh belajar banyak dari mereka—tentang keikhlasan, ketangguhan, dan arti dari mengantar tanpa pamrih.
Tips Memilih Kendaraan Harian: Jangan Cuma Lihat Gaya, Lihat Juga Setianya
Setelah lebih dari satu dekade ditemani berbagai jenis motor dari manual ke matic, dari Honda Blade Repsol hingga Honda Beat, saya jadi makin paham bahwa memilih kendaraan harian itu bukan cuma soal selera—tapi soal kecocokan, kebutuhan, dan keberlanjutan.
Berikut beberapa prinsip yang saya pegang saat memilih kendaraan harian. Siapa tahu bisa jadi pertimbangan buat kamu juga:
-
Sesuaikan dengan Ritme Hidup
Saat masih di Sukabumi, ritme hidup saya tidak secepat sekarang. Motor manual masih nyaman karena jalanan relatif lengang dan saya masih punya energi lebih untuk oper gigi. Tapi sejak pindah ke Tangerang, saya butuh kendaraan yang praktis dan cepat tanggap dalam kemacetan. Maka pilihan pun jatuh ke motor matic. -
Pertimbangkan Efisiensi Bahan Bakar
Percuma punya motor keren tapi boros bensin. Motor harian itu harus irit tapi nggak pelit tenaga. Di sinilah Honda Beat saya sekarang jadi andalan. Sekali isi, bisa untuk beberapa hari perjalanan kerja, antar anak, bahkan ngopi sore sekilas waktu. -
Biaya Perawatan dan Suku Cadang
Jangan lupakan urusan dompet. Pilih motor yang perawatannya sederhana, bengkel mudah ditemukan, dan spare part-nya tersedia di mana-mana. Nggak mau kan, harus inden kampas rem seminggu cuma karena pakai model yang langka? -
Kapasitas dan Fungsi Sehari-hari
Kalau kamu sering antar anak, bawa belanjaan, atau kadang ngangkut galon, pastikan motor punya ruang penyimpanan cukup dan jok yang nyaman. Jangan tergoda bodi ramping tapi lupa fungsionalitas. -
Jangan Cuma Lihat Gaya, Lihat Juga Setianya
Kendaraan harian bukan buat pamer gaya di lampu merah. Dia adalah teman hidup, kaki kedua, bahkan saksi bisu perjuanganmu. Jadi, pilih yang bisa jalan jauh, tahan banting, dan nggak rewel tiap pagi. Gaya boleh nomor dua, tapi keandalan harus nomor satu.
Diam-Diam, Mereka yang Paling Berjasa
Dalam hidup yang sibuk dan penuh target, kita sering lupa berterima kasih pada hal-hal sederhana—hal-hal yang mungkin tidak bersuara, tapi selalu ada. Seperti motor kita. Seperti kendaraan harian yang setia menemani, dari pagi buta sampai malam lelah. Yang mengantar, menunggu, menempuh, tanpa tanya “kapan aku diganti?”
Kita tahu bagaimana rasanya mogok di tengah jalan. Tapi pernahkah kita sadar betapa banyak hari yang telah berhasil kita lewati justru karena kendaraan itu tidak mogok? Ia menyala saat dibutuhkan, menanggung beban tanpa keluh, dan membawa kita pulang saat dunia terasa berat.
Dalam diam, mereka berjasa. Dalam sunyi, mereka jadi saksi. Maka hari ini, saya ingin menutup tulisan ini dengan satu rasa: terima kasih.
Untuk motor-motor yang pernah dan masih menemani. Untuk tiap kilometer perjalanan yang membawa bukan hanya tubuh, tapi juga harapan. Untuk tiap jalan yang ditempuh bersama.
Semoga kita pun bisa meniru mereka—tulus dalam menemani, setia tanpa pamrih, dan kuat menjalani jalan hidup, apa pun medan dan cuacanya.
Dan kamu, Kompasianer…
Semoga hari-harimu selalu ditemani “teman perjalanan” yang setia—apa pun bentuknya.