
Dampak Kebijakan Tarif Impor AS terhadap Penjualan Mobil Listrik di Indonesia
Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menurunkan tarif impor untuk Indonesia menjadi 19%, dari sebelumnya 32%, diprediksi akan berdampak pada penjualan mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV). Meskipun kebijakan ini tidak langsung memengaruhi pasar mobil listrik, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut memiliki potensi dampak jangka panjang.
Pengaruh Tidak Langsung pada Rantai Pasok dan Investasi
Yannes menyatakan bahwa tarif yang ditetapkan oleh AS dapat memengaruhi rantai pasok komponen mobil listrik. Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi memengaruhi iklim investasi jangka panjang. “Tarif Trump berdampak secara tidak langsung melalui kenaikan biaya komponen, peluang investasi jangka panjang, dan tekanan pada permintaan pasar dalam negeri,” ujarnya.
Selain itu, adanya potensi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Hal ini bisa memengaruhi biaya produksi dan harga jual mobil listrik di pasar lokal.
Target Penjualan Mobil Listrik pada 2025
Data yang dirilis Gaikindo menunjukkan bahwa penjualan mobil listrik Januari–Juni 2025 mencapai 35.846 unit, atau sekitar 59,7% dari target tahunan sebesar 60.000 unit. Artinya, para APM mobil listrik harus mampu menjual sekitar 4.026 unit per bulan untuk Juli–Desember 2025, atau di bawah capaian 5.974 unit per bulan di semester I/2025.
Untuk mencapai target penjualan BEV sebesar 60.000 unit pada 2025, dibutuhkan kondisi ekonomi makro yang mendukung serta strategi penjualan yang agresif dari APM. Selain itu, stabilitas nilai tukar, dukungan pemerintah, serta meningkatkan edukasi dan sosialisasi ke konsumen agar semakin tertarik mencoba EV juga sangat penting.
Tantangan Utama dalam Pemasaran Mobil Listrik
Tantangan terbesar bagi penjualan mobil listrik adalah daya beli masyarakat yang kian melemah. Yannes menjelaskan bahwa calon konsumen dengan tabungan terbatas kini bersikap wait and see menjelang evaluasi kebijakan insentif BEV di akhir 2025.
“Mereka menunda pembelian menunggu skema insentif di 2026, selain mulai berhati-hati setelah munculnya isu depresiasi tinggi harga BEV bekas,” katanya.
Insentif Pemerintah yang Masih Perlu Ditingkatkan
Pemerintah telah memberikan insentif untuk mobil listrik. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025, pemerintah memberikan insentif PPN DTP 10% untuk impor mobil listrik completely knocked down (CKD). Selain itu, PPnBM DTP untuk impor mobil listrik secara utuh atau completely built up (CBU) dan CKD sebesar 15%, serta pembebasan bea masuk impor mobil listrik CBU.
Insentif pemerintah sejatinya efektif dan berhasil menjadi daya tarik fundamental bagi banyak investor mobil listrik BEV untuk masuk pasar Indonesia, serta berkomitmen untuk memproduksi lokal. Namun, insentif ini belum cukup menarik calon konsumen di pasar lokal karena beberapa faktor seperti infrastruktur SPKLU yang masih terbatas, melemahnya daya beli kelas menengah, dan masih rendahnya kesadaran lingkungan. Hal ini membatasi efektivitas insentif yang diberikan.